Mural-Jokowi-404-Not-Found-in-Tangerang-photo-by-Fajrin-Raharjo-1620×1080
Mural 'Jokowi 404 Not Found' di Tangerang. Sumber imej: Fajrin Raharjo.

Menyensor Pandemi di Indonesia

Adrian Jonathan Pasaribu mombongkar masalah yang dihadapi oleh bidang seni pada masa pandemi.

Pandemi di Indonesia sering kali terasa seperti acara mingguan. Tiap Jumat, setidaknya selama puncak pandemi, pemerintah pusat mengumumkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang direkomendasikan untuk minggu mendatang, dengan kriteria Level 1 yang paling longgar dan Level 4 yang paling ketat. Rekomendasi tersebut ditetapkan bagi setiap kota berdasarkan masukan statistik dari Gugus Tugas Covid-19. Pemerintah provinsi dan lokal diwajibkan mengikuti keputusan tersebut. Meski demikian, mereka memiliki otonominya sendiri untuk menerapkan variasi pembatasan masyarakat, terutama ketika agenda nasional tertentu dipertaruhkan. Hal ini sering memunculkan situasi yang sangat kontras dari minggu ke minggu, di berbagai kota dan provinsi, terutama bagi penyelenggara acara seni dan budaya.

Dari tanggal 18 hingga 20 Maret 2022, Indonesia menarik perhatian dunia karena menjadi tuan rumah bagi balapan MotoGP di Sirkuit Internasional Mandalika yang baru dibuka di Lombok Tengah. Perhelatan ini bukan hanya balapan motor internasional pertama di negara ini dalam 25 tahun, tapi juga merupakan acara olahraga terbesar di Indonesia sejak awal pandemi Covid-19 dua tahun silam. Sekitar 63.000 tiket terjual dan 22.000 di antaranya dipesan oleh pemerintah provinsi untuk dijual kepada pegawai negeri sipil dan pejabat negara di sepuluh kota di seluruh Nusa Tenggara Barat.¹ Warga juga sebenarnya bisa menonton balapan secara gratis dari bukit terdekat. Menurut laporan media, perkiraan total penonton selama tiga hari pelaksanaan acara tersebut berjumlah 102.800 orang.²

Seminggu kemudian, pada 29 Maret 2022, sebuah konser musik di Bandung yang menampilkan Tulus, musisi pop kesayangan nasional, dibatalkan secara paksa. Dalam sebuah konferensi pers, pihak penyelenggara mengklaim bahwa Gugus Tugas Covid-19 kota Bandung tidak mengizinkan konser berlangsung. Penyelenggara acara pun meminta maaf atas ketidaknyamanan ini kepada publik.³ Konser ini berhasil menjual habis 500 tiketnya, yang kemudian diganti rugi oleh penyelenggara setelah pembatalan acara.⁴ Dalam konferensi yang sama, perwakilan dari gugus tugas mengungkapkan bahwa ada dua konser musik lain yang dibatalkan pada hari yang sama. Keduanya juga menghadirkan penampil terkenal dan direncanakan untuk skala penonton yang serupa.⁵

Selama kurun waktu tersebut, baik kota Bandung maupun Lombok Tengah mendapatkan pembatasan Level 1 dari pemerintah pusat. Artinya, entitas publik dan swasta di kedua wilayah dapat menjalankan kegiatan bisnisnya sehari-hari dengan kapasitas penuh. Mulai dari perkantoran, hotel, pusat-pusat perbelanjaan, restoran, bioskop, taman, perpustakaan, tempat-tempat ibadah, fasilitas olahraga, hingga ruang seni. Kegiatan olahraga dan budaya termasuk olahraga balapan motor dan konser musik yang melibatkan kerumunan massa juga mestinya dapat diselenggarakan. Namun, tampaknya ada kebijakan lain yang berlaku.

Yang makin membingungkan, di hari yang sama dengan pembatalan konser musik Tulus, Wakil Walikota Bandung membuka pameran filateli di museum kota.⁶ Acara ini merupakan peringatan 100 tahun Perkumpulan Filatelis Indonesia, sebuah kelompok hobi yang anggotanya berasal dari berbagai kota. Ketua perkumpulan ini adalah Fadli Zon, mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan wakil ketua partai politik terbesar ketiga yang diwakili dalam rezim saat ini.

Pita merah birokrasi negara yang menyakitkan sangat jelas terlihat dari rangkaian peristiwa ini. Balapan MotoGP di Lombok Tengah disponsori oleh Pertamina, sebuah perusahaan minyak dan gas bumi milik negara, sementara balapan itu sendiri didukung secara publik dan dihadiri secara pribadi oleh Presiden Joko Widodo, dalam rangka memperkuat kehadiran Indonesia di sirkuit acara olahraga global yang menguntungkan. Keinginan negara untuk mendapatkan audiens internasional mengalahkan persoalan mendesak terkait pandemi.

Dalam skala yang lebih lokal, pola relasi kuasa serupa juga terlihat dari pameran filateli di Bandung. Mengingat sifat politik yang top-down di Indonesia, lumrah bagi entitas atau pejabat lokal untuk mengendurkan beberapa ikatan sebagai upaya menenangkan atau memperoleh dukungan dari mereka yang berada di panggung politik nasional. Pelonggaran tersebut berkisar dari penyelenggaraan acara seremonial hingga advokasi publik untuk agenda politik negara. Menjadi tuan rumah acara bagi kelompok hobi politisi berpangkat tinggi selama masa pandemi tentu sesuai dengan spektrumnya.

Sebaliknya, penyelenggara konser musik adalah institusi swasta dan komunitas akar rumput yang tidak punya negara sama sekali. Posisi tawar mereka jelas berbeda.

Terlepas dari seluruh kerusakan konsekuensinya, pandemi telah menjadi pengungkap besar dari ketidaksetaraan. Selama bertahun-tahun, tindakan patronase atau pengagungan serupa merupakan hal lazim dalam perbendaharaan politik negara Indonesia. Pandemi semata menegaskannya, dengan mengontraskan tindakan tersebut dengan risiko kesehatan publik yang sangat mendesak dan mematikan. Atas dasar mengantisipasi risiko kesehatan masyarakat, yang merupakan kekhawatiran yang sangat wajar selama pandemi, negara mendikte apa yang dapat diterima di ruang publik dan mencari-cari alasan bagi tindakannya.

Seperti yang dipresentasikan oleh Ratri Ninditya dalam webinar Koalisi Seni Indonesia pada 19 April 2022, negara telah merekayasa protokol kesehatan untuk kepentingannya sendiri sejak puncak pandemi.⁷ Ninditya mencontohkan bagaimana Pemerintah Kota Kendal, Jawa Tengah, menggelar pertunjukan barongan di sebuah lokasi wisata untuk menyambut kunjungan pejabat negara pada 28 Oktober 2021.⁸ Selain tiga puluhan pejabat negara yang hadir, acara tersebut turut dinikmati oleh kerumunan warga dari desa-desa sekitar. Jumlahnya mencapai ratusan. Pada saat itu, Kendal ditetapkan dengan status Level 2 yang hanya mengizinkan aktivitas kelompok kecil di tempat umum.

Ironisnya, di awal merebaknya Covid-19, pemerintah Kendal sendiri telah melarang para penampil barongan dan kelompok seni tradisi lainnya untuk mengadakan kegiatan publik. Kebijakan ini jelas berdampak pada mata pencaharian para penampil. Selain upaya penyaluran dana bantuan yang seringnya seret, pemerintah tidak menyediakan jaring pengaman bagi para pekerja seni lokal. Beberapa di antaranya bertahan dengan terus berlatih atau berkesenian di rumah tanpa prospek ekonomi. Sementara, beberapa lainnya berpindah jalur melakukan pekerjaan sambilan hanya untuk bertahan hidup.⁹

Dua bulan sebelum berlangsungnya pertunjukan barong yang digelar pemerintah Kendal untuk menyambut pejabat negara, sebuah video beredar secara viral di media sosial. Video tersebut memperlihatkan seorang kepala desa di Kendal yang mengomel marah-marah setelah pertunjukan seni di daerahnya dihentikan secara paksa oleh polisi dan Gugus Tugas Covid-19 setempat.¹⁰ Pada November tahun yang sama, hal serupa terjadi di Kendal yang melibatkan sekelompok penampil kuda lumping.¹¹

Ketimpangan dan opresi yang tampak dalam kasus-kasus di Kendal ini tidaklah unik. Koalisi Seni Indonesia telah melacak sejumlah kasus sensor seni di seluruh Indonesia. Sepanjang 2021, Ninditya menyebut ada 39 kasus pelarangan atau pembatalan acara seni dengan alasan protokol Covid-19. Seluruh kasus mengikuti pola yang sama. Sebuah kelompok seni lokal–biasanya seni tradisi seperti reog atau wayang, terkadang kelompok musik dangdut–diundang untuk tampil di resepsi pernikahan dan hajatan rakyat. Kemudian, pihak berwenang–biasanya polisi dan Satgas Covid-19–datang merazia acara tersebut dan mengutip “penarikan massa” atau “kurangnya izin” sebagai alasan membatalkan acara tersebut. Negara selalu menjadi pihak yang memberikan hukuman. Sebaliknya, negara diam seribu bahasa setiap ada perwakilannya yang melanggar protokol Covid-19. 

Pandemi sendiri menghadirkan ujian berat bagi citra publik negara. Akibat minimnya tindakan strategis pada masa-masa awal Covid-19, pemerintah gagal menyediakan jaring pengaman sosial bagi masyarakat ketika pembatasan aktivitas publik diterapkan. Ancaman pengangguran besar-besaran lantas bergemuruh dan masyarakat harus berlumpur-lumpur untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Setiap orang hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk bertahan hidup.

Tak butuh waktu lama sampai akhirnya kesengsaraan hidup memicu mosi tidak percaya dari masyarakat. Seni menjadi panggungnya. Pada pekan pertama bulan Agustus 2021, sebuah mural di Tangerang, Jawa Barat, yang melukiskan teks “404: Not Found” di wajah karikatur Presiden Joko Widodo menjadi viral.¹² Bagaikan laman web yang hilang, presiden tidak dapat diakses oleh warganya, terutama dengan tidak adanya arahan publik yang jelas dari negara selama masa-masa kritis pandemi. Pada pekan berikutnya, mural lain di Pasuruan, Jawa Timur, dengan pesan yang lebih lugas menjadi viral. Pesannya berbunyi: “Dipaksa sehat di negeri yang sakit“.¹³ Kurang lebih pada minggu yang sama, sebuah mural di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menarik perhatian warganet. Di sebuah dinding terpampang teks “Wabah sesungguhnya adalah kelaparan” dengan latar belakang berwarna kuning cerah.¹⁴

Reaksi negara bisa ditebak: menghapus mural dan memburu para seniman. Dalam pernyataan terpisah kepada media, polisi dan pejabat pemerintah menyebutkan alasan serupa bagi tindakan penghapusan, yaitu “melanggar kesusilaan publik”. Sebagai tanggapan, sekelompok warga sipil di Yogyakarta mengadakan lomba mural tingkat nasional. Aturannya sederhana: siapa pun yang muralnya dihapus oleh pihak berwenang, menang.¹⁵

Lomba mural ini berakhir dengan sangat pas, sebab pihak penyelenggara secara simbolis mendeklarasikan ketujuh puluh peserta sebagai pemenang.¹⁶ Di tengah seluruh sengsara akibat pandemi, negara hanya bisa hadir sebagai sebagai simbol yang berjarak. Demi secercah harapan untuk memperbaiki keseimbangan, rakyat harus merebut kembali ruang simbolis yang turut dihuni perwakilan negara, sebagaimana yang dilakukan para seniman mural. Semenjak rakyat dibiarkan bertahan hidup sendiri, kemenangan simbolis merupakan satu-satunya kemenangan bermakna yang tersisa.

¹Pemprov NTB Wajibkan ASN Beli Tiket MotoGP Mandalika, Sandiaga: Keputusan Bersama untuk Sukseskan Acara. Diterbitkan dalam VOI, 2 Maret 2022.

²Indra Fikri. Penonton MotoGP Mandalika 2022 Tembus 102.801 Orang, MotoGP Malaysia Punya Target Lebih Tinggi. Diterbitkan dalam Motorplus Online, 27 Maret 2022.

³Konser Tulus Batal, Promotor Soundsfest Bersua Siap Kembalikan Uang Penonton. Diterbitkan dalam Media Indonesia, 31 Maret 2022.

Bahtiar Rifa'i. Konser Tulus Dibubarkan di Bandung, Ini Penjelasan Panitia. Diterbitkan dalam Detik, 31 Maret 2022.

Muhamad Nadri Prilatama. D'Masiv Ternyata Bernasib Sama Seperti Dewa 19 dan Tulus, Ini Langkah yang Harus Ditempuh Panitia. Diterbitkan dalam Tribunnews.com, 30 Maret 2022.

Pameran Bandung dalam Prangko dan Kartu Pos. Diterbitkan dalam bandung.go.id, 30 March 2022.

Koalisi Seni. Dalih Baru Opresi - Potret Kebebasan Berkesenian 2021. Diterbitkan dalam kanal Youtube Koalisi Seni, 19 April 2022.

Agus Riyadi. Tak Dibubarkan, Dewan Soroti Pentas Barongan Sambut Pejabat. Diterbitkan dalam Gatra, 29 Oktober 2021

Ade Lukmono. Nasib Perajin Barongan Kendal di Masa Pandemi COVID-19. Diterbitkan dalam Ayo Semarang, 17 Juli 2021.

¹⁰Ngarto Februana. Viral, Kades Ngeyel Saat Pentas Musik di Kebonagung, Kendal, Dibubarkan Polisi. Diterbitkan dalam Tempo.co, 19 Agustus 2021.

¹¹Edi Prayitno. Tak Berizin dan Langgar Prokes, Polisi Bubarkan Pentas Seni Kuda Lumping di Kendal. Diterbitkan dalam Ayo Semarang, 9 November 2021.

¹² Akhir Perkara Mural 'Jokowi 404: Not Found' Karena Tak Ada Pidana. Diterbitkan dalam Detik, 21 Agustus 2021.

¹³Mural 'Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit' Juga Dihapus. Diterbitkan dalam CNN Indonesia, 14 Agustus 2021.

¹⁴Kala Mural 'Wabah Sesungguhnya adalah Kelaparan' Dihapus di Mana-mana. Diterbitkan dalam Detik, 21 Agustus 2021.

¹⁵Wisang Seto Pangaribowo. Lomba Mural Digelar di Yogyakarta, Gambar yang Cepat Dihapus Aparat Dapat Nilai Lebih. Diterbitkan dalam Kompas.com, 24 Agustus 2021.

¹⁶Wisang Seto Pangaribowo. Akhirnya Pemenang Lomba Mural Gejayan Memanggil Diumumkan, Karya di Jembatan Kewek Yogya Dapat Penghargaan. Diterbitkan dalam Kompas.com, 15 September 2021.

Artikel ini, oleh Jonathan Adrian Pasaribu, diterbitkan untuk projek yang dianjurkan oleh ArtsEquator untuk menyelidik dan mendokumentasi penapisan seni di Asia Tenggara. Versi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Theodora Agni. Untuk versi bahasa Inggeris, sila tekan sini
Theodora Agni adalah manajer seni independen dan khususnya bekerja sebagai manajer residensi. Dia berbasis di Yogyakarta. Praktiknya terinspirasi oleh peran dramaturg sebagai perantara dan multitasker.

About the author(s)

Adrian Jonathan Pasaribu is the chief editor and co-founder of Cinema Poetica—a collective of film critics, activists, and researchers in Indonesia. In 2013, Adrian participated in Berlinale Talent Campus as a film critic, and since then regularly organized or mentored film criticism workshops in Indonesia. He has also curated several film festivals, including Festival Film Dokumenter, Jogja-NETPAC Asian Film Festival, and Singapore International Film Festival. In 2020, as part of Cinema Poetica, Adrian contributed several writings for Antarkota Antarlayar: Potret Komunitas Film di Indonesia (Between Cities and Screens: Film Communities in Indonesia), a book published by Jakarta Arts Council.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top