Makassar Biennale (MB) adalah ajang biennale pertama yang digelar di Indonesia Bagian Timur. Pintu masuk saya terlibat dalam MB adalah Tanahindie. Ia adalah organisasi berbasis komunitas yang berdiri 22 tahun silam dan berfokus pada kajian tentang kota melalui berbagai praktik eksperimental dan reproduksi pengetahuan warga dengan metode vernakular. Saya bergabung dengan Tanahindie pada tahun 2018 sebagai penulis dan peneliti muda. Setahun setelahnya, saya bergabung sebagai salah satu anggota dari tim kerja MB sampai sekarang. Sejak itu, saya mengamati sembari terlibat dalam pelaksanaan ajang yang berlangsung dari penyatuan dua kata: MB dan Tanahindie.
Gagasan Literasi Warga
Sepanjang keterlibatan saya di MB selama lima tahun terakhir, saya mengalami dan menyaksikan keterhubungan erat antara seni sebagai metode literasi warga dengan praktik kewargaan yang ingin didorong oleh MB. Antara lain dengan cara melibatkan warga, khususnya anak-anak muda, sebagai bagian dari tim kerja dan seniman partisipan MB. Tanahindie sebagai pengelola MB terbuka dan menerima siapa pun yang tertarik untuk bergabung tanpa membatasi seleksinya pada standar tertentu seperti pengalaman kerja. MB ingin menjadikan ajang ini sebagai pemicu dan kesempatan belajar bagi seluruh warga Makassar.
Saya adalah salah satu anak muda yang mendapatkan kesempatan untuk terlibat pertama kalinya dan dipercaya menjadi manajer publikasi MB 2019. Saya tidak mengerti sama sekali wilayah kerjanya dan apa yang harus saya lakukan saat itu. Semuanya adalah hal baru dan terasa nyata pada saat saya mulai mengalaminya sendiri. Kata kunci proses saya adalah learning by doing. Tidak ada standar dan panduan khusus yang harus saya ikuti ketika itu. Saya belajar dengan cara mencari referensi, berdiskusi, dan mengimajinasikan bersama tim kerja saya; bagaimana caranya menceritakan MB kepada publik di media sosial?
Hampir sebagian besar seniman partisipan MB juga pemula seperti saya. MB lebih tertarik mengajak warga dan seniman muda daripada seniman-seniman kondang yang sudah berpengalaman. Beberapa di antara seniman partisipan MB bahkan tidak mengidentifikasi dirinya sebagai seniman. Ini adalah hal yang ingin dipicu MB untuk menghidupkan pengetahuan dan pengalaman hidup warga dengan cara mereka sendiri sebagai seniman. Misalnya Muslimin Mursalim [1] seniman partisipan MB 2019 asal Parepare. Karyanya yang berjudul Ma’dange berasal dari pengalamannya sebagai juru masak dan pengetahuannya dalam membuat dange’ (makanan yang terbuat dari sagu yang dimasak menggunakan cetakan segi empat dengan cita rasa tawar) yang diwarisi dari neneknya. Setelah mengikuti MB 2019, ia mulai tertarik dan belajar menjadi seniman.
Beberapa kali saya ditanyai, “Mengapa MB tidak melibatkan seniman rupa yang sudah punya pengalaman berpameran?” Bagi saya, pertanyaan ini menarik dan perlu digeledah ulang. Jika seniman yang dilibatkan selalu seseorang yang sudah memiliki pengalaman panjang dalam berpameran dan menciptakan karya dengan standar estetika seni tertentu, lantas di manakah kesempatan bagi mereka yang belum berpengalaman? Bagaimana dengan anak-anak muda yang belum punya niatan jadi seniman dan warga yang tidak pernah tahu cara bekerja dan mengorganisir kegiatan seni? Di manakah kesempatan mereka untuk mulai mengalami dan mempelajari hal-hal tersebut? Sementara, kami dihadapkan dengan kenyataan sulitnya menemukan seniman muda dan teman-teman yang terbiasa membuat pameran untuk mengorganisir pelaksanaan MB di kota-kota gelarannya.
Citra Kader (Kolektif Videoge), Seniman MB Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur duduk di depan karyanya “Catatan Resep Tangga”. Sumber imej: Documentasi Tim MB Labuan Bajo.
Genealogi Makassar Biennale
MB pertama kali digelar dan diinisiasi oleh kelompok Colliq Puji’e Art Movement bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 2015. Dengan mengangkat tema Trajectory, MB diharapkan menjadi pintu masuk dalam mencermati, mencatat, dan memaknai sejarah dan peristiwa Kota Makassar beserta proyeksi seni rupanya saat itu. Mulai tahun 2017, MB dikelola secara penuh oleh Tanahindie. Sehingga, perhelatan yang pada awalnya dikerjakan dan digerakkan oleh jaringan seniman di Makassar ini berubah nyaris secara keseluruhan. Dalam prosesnya, Tanahindie menggerakkan seluruh sumber dayanya yang terdiri dari Penerbit Ininnawa (penerbitan independen dengan jaringan akademisi dan peneliti), Kampung Buku (perpustakaan komunitas yang menjadi kolaboratorium perjumpaan pegiat komunitas dan budaya), serta jejaring pelaku kesenian MB dan Tanahindie yang sudah terjalin sebelumnya. Ekosistem yang bekerja secara konfigurasi inilah yang menggerakkan MB hingga sekarang.
Pada bulan Maret 2019, berlangsung peluncuran buku Kota Diperam Dalam Kota (City Soaked in Drinking Stall). Saya adalah salah satu kontributor buku tersebut di mana acara peluncurannya digunakan sebagai pemanasan menuju MB 2019. Semenjak itulah saya bertanya-tanya, MB ini ajang kesenian seperti apa? Namun, pertanyaan itu saya simpan saja sampai nanti setelah benar-benar terjun langsung ke medan kerjanya.
Ketika bekerja sebagai asisten kurator MB 2021, saya harus bekerja dengan tim dan seniman yang 80% di antaranya adalah awak baru. Salah satu tugas kami adalah menyelenggarakan simposium yang ternyata implementasinya jauh berbeda dengan simposium sebelumnya di tahun 2019. Saat mengorganisir simposium MB 2019, sebagai awak baru, saya belajar menyiapkan acara layaknya simposium pada umumnya; format panel dengan kursi yang disusun rapi dan narasumber yang siap dengan materi presentasinya. Acara berlangsung formal dan cukup teratur. Simposium MB 2021 yang saya koordinir bersama dengan para awak baru tersebut diadakan di Pangkep yang terletak di tengah pegunungan karst tanpa akses internet. Situasi ini jauh berbeda dari yang saya jumpai sebelumnya. Akibat persoalan infrastruktur ini, simposium diadakan secara sederhana di atas karpet di mana kami duduk melantai dan bertukar cerita. Para panelis lebih banyak berbincang di kolong rumah panggung tanpa menampilkan materi presentasi. Pada malam harinya, kami bergantian membaca puisi dan menyanyi beratapkan langit. Saya tidak mengira sama sekali bahwa sebuah simposium dapat berlangsung seperti itu. Saya merasa sedang liburan dan salah satu kegiatannya adalah simposium. Meski simposium ini berlangsung di kolong sebuah rumah bukannya di ruang kubus putih, para panelis yang kami undang ternyata juga merasa nyaman. Suasana ini membuat kami merasa lebih leluasa berbicara dan menyatakan pendapat karena situasinya tidak formal dan menegangkan.
Selain personil, MB juga terus menguji coba format manajemen dan kuratorial baru tanpa menghiraukan benar atau salah dan terbuka dengan proses. Keterbukaan terhadap proses ini dilandasi oleh karakter warga dan sejarah kawasan lokasi-lokasi gelaran MB tanpa niatan menggeneralisasi. Dalam catatan kuratorialnya, Anwar ‘Jimpe’ Rachman, Direktur MB, mengutip gagasan Lawrence Blair tentang pemisahan akal budi orang-orang yang hidup di pinggir Garis Wallace, garis yang menandai pemisahan antara dua jenis akal budi yang amat berbeda–‘benuawi’ dan ‘samuderawi’. Bagi Blair, wilayah ini (Indonesia Bagian Timur) dikenal memiliki ‘khasanah berpikir samuderawi’ yang kental. Sehingga, tidak relevan jika kita membandingkan Makassar Biennale, dengan dua biennale pendahulunya; Jogja dan Jakarta yang keduanya berada di Pulau Jawa.
Berangkat dari pemikiran tersebut, pada tahun 2017, MB menetapkan tema abadi Maritim yang diinisiasi oleh Anwar ‘Jimpe’ Rachman dan Nirwan Ahmad Arsuka. Jimpe memaparkan bahwa Maritim tidak hanya didefinisikan sebagai laut atau samudera, tetapi sebagai ekosistem hidup. Maritim adalah ‘cara pikir’ tentang bagaimana MB dilaksanakan. Dalam kesempatan lain, dia juga menerangkan bahwa tema abadi ini merupakan bentangan alam yang diakrabi warga di Makassar dan Indonesia Timur.
Hal lainnya yang saya alami adalah kesempatan untuk belajar merancang kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kami yang berperan sebagai tim kerja MB. Selama ini, saya dan teman-teman lebih terbiasa menjadi peserta atau mentok menjadi pelaksana kegiatan. Saya dan anak-anak muda sesama tim kerja sering kali hanya dilihat sebagai statistik, tidak terbiasa dan tidak diberikan kesempatan untuk terlibat merancang dan mengkontekstualisasikan ide dan gagasan sebelum diolah menjadi kegiatan. Wajar jika sering terjadi kebingungan di sana-sini. Kebingungan yang jika sekilas dilihat dan dibandingkan dengan biennale lain acapkali disebut kekurangan. Tetapi, bagi MB, kebingungan pun sudah tanda belajar.
Bagi saya, latihan merancang kegiatan bagi anak-anak muda menjadi hal yang penting. Sebab acara seni dan budaya yang digelar di Makassar kadang kala hanya menjadi momentum dan perayaan cerita-cerita sukses dari narasumber yang dihadirkan. Bukan menjadi ajang yang secara aktif dibuka sebagai ruang belajar atau pemicu bagi partisipan dan tim internalnya.
Dokumentasi Pembukaan Simposium Makassar Biennale 2021 di tengah Pegunungan Karst Pangkep, Sulawesi Selatan. Sumber imej: Artefact Kitab Maya.
Memecah Lokasi Gelaran
MB juga membuka imajinasi dan pembacaan lain mengenai konsep dan gagasan Maritim yang sesuai dengan konteks lokal di setiap daerah yang mengemban perhelatan MB. Antara lain dengan memberikan kebebasan kepada setiap komunitas penyelenggara untuk membentuk tim kerjanya, merangkai praktik pelaksanaannya sendiri sesuai ketersediaan sumber daya seperti seniman, pengisi acara hingga pilihan hidangan untuk menjamu seluruh tamu yang hadir. Kurator utama berperan sebagai ‘teman’ untuk mendampingi dan memberikan pertimbangan artistik terhadap proses penciptaan karya dan strategi pengorganisasian acara.
Jika pada tahun 2015 dan 2017 MB hanya digelar di Makassar, maka pada tahun 2019 hingga 2021, MB menguji coba model dan logika lain dengan cara memecah lokasi perhelatan ke beberapa kabupaten kota. Tanahindie membangun MB menjadi sebuah platform kolektif yang saat ini dikerjakan dan digerakkan oleh jaringan komunitas dan pegiat literasi di 6 kota. Yaitu Makassar, Parepare, Pangkep, Bulukumba (Sulawesi Selatan), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur) dan Nabire (Papua). Berbeda dengan penyelenggaraan biennale pada umumnya yang diinisiasi dan digerakkan oleh jaringan seni. Pemecahan lokasi gelaran ini adalah upaya untuk membagi peran dan memperkuat jaringan seni antar lokasi.
Residensi Sebagai Referensi
Program residensi adalah salah satu agenda MB untuk membagi perhatian dan sorotan yang selama ini hanya terpusat di Makassar ke daerah-daerah lain. Makassar telah cukup dikenal sebagai pintu masuk ke kawasan Indonesia bagian timur sejak belasan abad lalu. Sehingga, kami merasa bahwa seniman dan publik luas juga harus tahu bahwa ada komunitas seni dan literasi di Bulukumba, Parepare dan Pangkep.
Residensi juga berfungsi sebagai metode agar tim kerja dan seniman residensi bisa saling belajar dari praktik kerja masing-masing. Urgensi lain dari penyelenggaraan program residensi bagi MB adalah untuk membiasakan tim kerja dalam menjamu ‘tamu’ menurut kemampuannya sendiri. Program residensi MB tidak hanya mengajak tim kerja untuk belajar menjamu tetapi juga belajar menggerakkan modal sosial yang mereka miliki. Misalnya, kami tidak harus selalu makan di warung untuk makan siang. Sebab masyarakat Bugis memiliki tradisi untuk menjamu tamu dengan cara menggilirnya ke rumah kerabat atau tetangga. Jadi, jika kita tidak memiliki anggaran untuk makanan, tim kerja dan seniman tidak akan kelaparan. Tata cara ini tentunya sangat tergantung dari tradisi dan kebiasaan warga di setiap lokasi kegiatan.
Kadang kala karena keterbatasan anggaran, banyak seniman residensi yang menginap di lokasi pameran atau di rumah tim kerja. Kami pun memahami kebutuhan seniman akan ruang pribadi atau kenyamanan tidur di kasur dengan seprei yang wangi. Oleh karena itu, tim kerja dan keuangan MB biasanya akan memaparkan kenyataan internal dari awal kepada seniman untuk mengurangi ekspektasi mereka mengenai fasilitas residensi.
Hal lain seputar residensi juga berhubungan dengan kondisi geografis negara Indonesia yang terdiri dari gugusan pulau-pulau yang mengakibatkan akses jaringan seni dan pengetahuan tidak merata dan hanya terpusat di pulau Jawa. Kenyataan ini menjadikan benih-benih inferioritas yang tumbuh dalam diri kami mengakar cukup kuat. Menghadirkan seniman yang sudah berpengalaman tentu saja akan memberikan manfaat berupa referensi. Tetapi kami ingin menghindarinya jika hal itu hanya menciptakan kesenjangan dan menempatkan seniman pemula di kursi penonton saja karena merasa tidak berdaya. Kesetaraan adalah semangat dan cara kami meretas kesenjangan tersebut melalui program residensi.
Kesenjangan yang dimaksud dan ingin diretas bukan hanya antar seniman, tetapi juga antara seniman dengan warga di lokasi residensi. Secara tidak sadar, seniman kadang menciptakan jarak dalam karya yang dia ciptakan. Kadang ada juga seniman yang hanya mengekstraksi pengetahuan dari warga tanpa kesadaran untuk belajar bersama. MB membutuhkan karya seni yang mudah dipahami oleh warga biasa dan bisa menjadi pemicu pertanyaan atau kebingungan. Bagi kami, seniman dan tim kerja adalah warga. Seni adalah metode untuk menginspirasi warga dalam mempelajari dan percaya diri dengan pengetahuan yang ada di sekeliling mereka.
Arsip dan Publikasi Adalah Kunci
Dengan pengalaman singkat belajar menulis dan kesempatan menjadi asisten kurator MB 2021, saya belajar meretas kebingungan yang berkali-kali lipat dengan menemukan dan mendefinisikan sendiri fungsi saya, yaitu menguratori publikasi. Ranah tugas saya adalah mendampingi teman-teman di setiap kota untuk menulis di kanal-kanal publikasi MB seperti media sosial, website, dan lain-lain. Aneka teks yang diproduksi ini adalah upaya untuk membingkai narasi yang akan dipresentasikan ke publik melalui karya rupa dan menjadikan tulisan sebagai metode eksplorasi pengalaman personal seniman dan tim kerja.
Peran ini membuat saya paham akan pentingnya campur tangan Tanahindie dalam penyelenggaraan MB yang menjadikan arsip dan tulisan sebagai sumber daya. Kerja menulis dan dokumentasi bukan hanya untuk kebutuhan mengkomunikasikan perhelatan MB kepada publik. Tetapi juga sebagai sarana untuk mengarsipkan proses personal si penulis. Sebab apa yang ditemukan dan disebarluaskan kepada publik tidak kalah penting dari apa yang dialami setiap orang yang mengerjakannya.
Itulah mengapa kerja editorialnya bukan untuk menyunting pesan atau struktur teksnya. Melainkan untuk menstimulasi para penulis yang sebagian besar adalah teman-teman yang baru terlibat di MB dan baru belajar menulis untuk meramu, memahami, mengimajinasikan dan mengartikulasikan apa yang dia pandang sebagai MB yang dimulai dari pemilihan diksi.
Strategi publikasi MB juga berkaitan dengan penggunaan nama Makassar Biennale sebagai wadah. Dengan menyematkan kata biennale yang gampang dikenali oleh publik seni, ia mempercepat penyebaran berita gelaran MB di ranah nasional dan internasional. Di sisi lain, kata ini memunculkan ekspektasi publik terhadap MB yang dianggap memiliki standar yang sama dengan biennale lain di Indonesia. Dua sisi ini membuat kerja publikasi menjadi signifikan bagi MB. Belum lagi faktor alam yang menyebabkan biaya perjalanan ke wilayah Makassar cenderung lebih mahal. Sehingga, satu-satunya cara agar bisa dikenal adalah mempublikasikan serinci dan seberagam mungkin hal-hal yang kami kerjakan bersama. Dalam proses produksinya, publikasi ini tidak dikerjakan oleh satu unit tim kerja saja. Melainkan gotong royong bersama tim di setiap kota. Itulah mengapa jika Anda membuka laman Instagram MB, Anda bisa menemukan nuansa visual dan audio yang beragam.
Pertanyaan Artistik Yang Kekal
Pada bulan Juni 2022, kami mengadakan lokakarya kuratorial di Pangkep Sulawesi Selatan. Perwakilan tim kerja MB dari Makassar, Nabire, Pangkep, Parepare dan Labuan Bajo hadir dalam lokakarya tersebut. Ini adalah kesempatan kami untuk berembuk pertama kalinya sejak masa pandemi yang membatasi perjumpaan secara virtual. Selama empat hari, perbincangan kami dimulai dengan mempertemukan kenyataan-kenyataan yang terjadi di masing-masing kota.
Kondisi sosial politik, geografis hingga budaya kerja dan personil tim dibicarakan. Saya tertegun dengan apa yang dialami oleh teman-teman di kota lain karena selama ini kami hanya berkomunikasi secara virtual. Salah satunya adalah kondisi yang sedang dihadapi oleh tim Labuan Bajo. Jika sebelumnya saya hanya mendengar bahwa mereka perlu menata dan mengatur sedemikian rupa jadwal mereka untuk pelaksanaan MB berikutnya, ternyata pertemuan langsung dengan Aden dan Marto memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai apa yang sedang mereka alami. Industri pariwisata yang sedang gencar dipromosikan oleh pemerintah beserta infrastruktur mewah yang dibangun di Labuan Bajo membangkitkan kesadaran dan kebutuhan mereka sebagai warga.
Pada sesi yang hangat dan tanpa buru-buru itu, saya juga bertanya, “Sampai kapan MB terus menguji coba format, mengulas setiap proses dan selalu membicarakannya dengan spontan, manajemen yang terus berganti, dan bagaimana dengan upaya belajar artistik dan karya rupanya yang konon tidak artistik?” Setelah obrolan yang intens, pertanyaan saya dijawab oleh kesepakatan bersama bahwa artistik pada gelaran MB barangkali adalah pertanyaan abadi.
Ia menjadi abadi karena setiap unsur dalam MB selalu baru dan menjadi pengalaman pertama bagi masing-masing orang di dalamnya. Mulai dari seniman, tim kerja, hingga karya yang dihasilkan dari MB. Terlebih lagi dengan ciri khas persoalan dan dinamika di setiap lokasi yang memacu MB untuk terus meramu format dan menguji coba segala kemungkinan. Juga ambisi MB untuk lebih banyak bekerja dengan inisiatif akar rumput semakin menempatkan artistik ke dalam pertanyaan yang ke sekian.
Pada tahun 2023 mendatang, kami ingin mencoba model penyelenggaraan yang baru di mana setiap kota menyiapkan kuratornya sendiri. Jika sebelumnya setiap kota berperan sebagai produser, maka kali ini mereka didorong untuk menjadi inisiator. Saya sendiri belum punya bayangan seperti apa MB tahun depan, tetapi saya ingin optimis dengan mengutip ucapan Jimpe, “Lewat metode seni rupa, terasa penting untuk menerbitkan kegembiraan (dan mungkin sesuatu yang bernama harapan) di antara warga.” Semoga.
Referensi
- Arsuka, Nirwan Ahmad. 2019. Makassar Biennale: Menuju Tanah Suci Maritim. Dalam Makassar Biennale 2019, hlm.VII-IX. Yayasan Makassar Biennale: Makassar.
- Artefact.id. Pidato Dr. Hilmar Farid di Simposium Makassar Biennale 2019. https://www.youtube.com/watch?v=3sNwDFNYx-Q diakses pada 28 Juli 2022, pukul 17.00 WITA.
- Dalay, Fitriani A. 2022. Gerbong yang Melaju ke Timur. Dalam Katalog Makassar Biennale 2021 Maritim:Sekapur Sirih, hlm 16-27. Yayasan Makassar Biennale: Makassar
- Lawrence Blair & Lorne Blair, Ring of Fire, Indonesia dalam Lingkaran Api, Ufuk Press, 2012, dalam Anwar Jimpe Rachman, Makassar Biennale dan Proyeksi-Proyeksinya. Simposium Makassar Biennale 2019, hlm. 35. Yayasan Makassar Biennale: Makassar.
- Newsletter Wallace, Makassar Biennale 2015 Trajectory. 2021. https://drive.google.com/file/d/1QVAJSWsnZhP6khJcy8aM4aPLSFyhL7x0/view diakses pada 16 Juli 2022, pukul 13.00 WITA.
- Rachman, Anwar Jimpe. 2017. Makassar Biennale 2017 Medan Perluasan Wacana Maritim. Makassar Biennale 2017: “Maritim”, hlm. 4-6. Yayasan Makassar Biennale: Makassar.
- Rafsanjani, Pengalaman Seni Tiga Biennale di Indonesia. 2020. https://artefact.id/2020/07/08/pengalaman-seni-tiga-biennale-di-indonesia/ diakses pada 17 Juli 2022, pukul 12.00 WITA.
- Salam, Wilda Yanti. 2022. Yang Dekat Yang Memberi Harap. Katalog Makassar Biennale 2021 “Maritim: Sekapur Sirih”, hlm. 40-49. Yayasan Makassar Biennale: Makassar.
- Salam, Wilda Yanti. 2022. Tumbuh Melangkahi Kebingungan/Growing Overhead Confusion. Dalam “Menghampiri Kebudayaan: Sebuah Sorotan Kritis Perihal Kolektivitas Seni dan Solidaritas”, hlm. 311-321. Biennale jatim IX dan Penerbit Nyala.
- Salam, Wilda Yanti. 2019. Unjuk Rasa Warisan Nenek. https://makassarbiennale.org/unjuk-rasa-warisan-nenek/ diakses pada 16 Juli 2022, pukul 16.50 WITA.
- Meicieza, Regina Sweetly. 2022. Membangun Akuntabilitas LSM Di Indonesia Timur (Studi Kasus Lembaga Tanahindie Dalam Program Pra-Event Makassar Biennale 2020). Universitas Hasanuddin: Makassar.