Melampaui batas permukaan dan silo : bagaimana media seni dapat bertahan – dan berkembang – di Asia yang terganggu secara digital

Clarissa Oon

Biarkan saya mulai dari awal, dengan cerita bagaimana saya terlibat masuk ke dalam “media seni”.

Itu adalah awal 1990 an. Apapun pengalaman kita dengan “influencer” kebanyakan ialah melalui halaman koran dan layar tv, dan telefon merupakan sesuatu yang anda gunakan untuk berbicara langsung, dengan suara di ujung satunya lagi. Saya membaca koran hampir setiap hari, seperti juga orang orang yang ingin mengetahui hal yang terjadi di luar pintu mereka.

Sebagai mahasiswa jurusan teater yang bersemangat dan antusias, saya menemukan di kolom fitur dan ulasan Hannah Pandian – kritikus teater awal 1990 an dari koran nasional Singapura The Straits Times – sebuah tempat duduk terdekat ke dunia teater Singapura yang baru saja lepas landas, dalam hal profesionalisme dari perusahaan teaternya, awal dari ekosistem pendanaan dan pendidikan seni, dan kristalisasi dari bahasa pertunjukan asli untuk di pentas. 

Salah satu karya terobosan pada saat itu adalah Off Centre (1993), suatu tuduhan menyakitkan tentang ketidak mampuan masyarakat Singapura untuk menerima mereka yang berbeda melalui mata dari dua remaja yang mengalami masalah kesehatan mental. Saat Hannah menulis ulasannya bahwa Off Centre menandai kematangan baru teater Singapura, berbicara ke audiens yang bersedia untuk ditantang, saya menyesal tidak ada di barisan audiens tersebut – pertunjukan itu, yang pendanaannya ditarik oleh departemen pemerintah yang membentuknya, sekarang diakui sebagai karya klasik teater Singapura, dipelajari di sekolah sekolah, dan telah diproduksi ulang beberapa kali, yang terakhir tahun ini. (Saya akhirnya dapat menyaksikan produksinya The Necessary State di tahun 2007.)

Hannah bersama dengan T. Sasitharan, eks editor seni The Straits Times yang menulis tentang seni visual dan teater dari 1986 hingga 1996, menulis kolom dan ulasan yang bersemangat dan tajam. Perbedaan yang nyata dibandingkan jurnalis masa lalu yang kurang semangat atau komitmennya saat menulis tentang seni, jumlah dan keseriusan peliputan Hannah dan Sasi memberi dampak yang melebihi waktu mereka di koran itu dan menetapkan bentuk dari media seni di Singapura untuk 15 sampai 20 tahun berikutnya.

Beberapa tahun setelah pertama kali mengikuti artikel Hannah, dalam perubahan kejadian yang seperti mimpi, saya berada di kursi panas melakukan tugasnya, dan kemudian juga tugas Sasi sebagai editor seni. Komitmen The Straits Times untuk meliput teater Singapura membuatnya mungkin bagi saya untuk menulis sebuah buku yang mendokumentasikan sejarah itu (dari 1958 sampai 2000) melalui arsip koran – sampai hari ini, itu merupakan salah satu dari sedikit buku tentang subyek tersebut.

Seni, media dan Asia

Dari perkenalan tentang bagaimana saya masuk ke industri ini, anda dapat melihat tema tertentu yang muncul yang akan saya ulas kembali. Terdapat peran penting dari penulis dan kritikus seni profesional dalam menciptakan kesadaran yang lebih luas tentang seni, mengembangkan lebih banyak audiens yang ahli membandingkan dan memberi inspirasi bagi penulis muda. Seni dapat berlalu begitu saja untuk dampak langsungnya – pameran dan pertunjukan produksinya terbatas, bahkan jika mereka masuk ke dalam kulit kita dan kita bersenandung bait dari lagu, baris dialog atau potongan gerakan dalam kepala kita untuk beberapa minggu sesudahnya. Penulisan seni jadinya melakukan peran penting dari dokumentasi, klaim dan argumen mereka menjadi bibit perbincangan tentang apa seni yang baik, apa seni yang relevan, apa seni yang dapat dibuang atau dapat dilupakan, juga tentang apa yang orisinal dan terobosan baru.

Pertanyaan yang saya rasa kita semua risaukan di Hari Pertama meja bundar ini ialah tentang masa depan dari penulisan dan isi seni yang baik pada saat lebih sedikit orang dibanding sebelumnya yang bersedia untuk membayarnya, mengharapkan berita dan pendapat melalui alat digital yang bebas biaya dan tinggal ketuk. Dengan penyebaran kegaduhan dan kemampuan konsumen untuk menyaring apa yang ingin mereka dengar, bagaimana media seni mendobrak dan muncul di radar yang belum terkonversi, sambil memperdalam pembahasan mereka yang peduli tentang seni dan hubungannya dengan masyarakat? Terutama, apa artinya ini untuk media dan seni di Asia?

Saya ingin fokus ke tiga area dalam pidato utama saya ini : 1) model pendanaan dan format media yang baru dalam merespon tataran media sosial dan digital ini; 2) bagaimana membangun komunitas yang peduli tentang isi media seni, saat influencer media sosial lebih banyak berperan dari pada merek media dan dimana baris komentar dapat berubah menjadi hal yang dangkal atau beracun; 3) kebutuhan untuk membimbing ketelitian dan kedalaman dari penulisan dan peliputan seni, termasuk generasi berikutnya penulis seni dan spesialis media seni yang profesional.

Sebelumnya, beberapa definisi dari istilah kunci saya rasa perlu disampaikan, juga beberapa pengaturan adegan dari keragaman konteks dengan apa kita beroperasi di Asia. Yang pertama, apakah seni itu? Kita tahu satu keseluruhan spektrum bentuk dan genre membentuk seni atau mengapung di sepanjang batasnya, tapi saya akan mendefinisikan seni sebagai praktek budaya yang bijaksana dan mendorong batas yang jelas berbeda dari konsumsi berbasis hiburan. Jadi “kesenian” dapat berupa teater, musik, dansa atau literatur atau apapun yang beroperasi di persimpangan dari berbagai bentuk ini, yang harapannya untuk menantang individu, merubah dunia dan berbuat lebih dari hanya sekedar mengelitik sensasi dan membuat uang secara cepat.

Yang kedua, siapa atau apakah “media seni”? Pemilik media dalam hal ini mungkin saja perusahaan media, pusat seni, dewan seni, perusahaan seni – suatu organisasi yang didedikasikan untuk menulis tentang dan membuat profil seni yang melintasi spektrum artis dan entitas seni. Sebagai contoh, di Taiwan, salah satu kota budaya di Asia yang paling tidak dikekang dan bersemangat, National Theater and Concert Hall (NTCH) telah menerbitkan majalah seni pertunjukan bulanan berbahasa Tionghoa, Performing Arts Review (Ulasan Seni Pertunjukan), selama 27 tahun terakhir – membuatnya menjadi salah satu nama media seni bertahan terlama di kawasan Asia Pasifik. Majalah itu memuat fitur format-panjang, wawancara dan ulasan yang mencatat tren dan perkembangan seni pertunjukan di Taiwan dan memperkenalkan seni pertunjukan internasional terbaik kepada artis dan audiens Taiwan. Selain versi cetak, versi elektronik juga tersedia untuk langganan dan unduhan, dan situs webnya memuat rangkuman cetak dari majalah, tapi juga memuat video yang diproduksi oleh PAR dan NTCH.

Di Singapura, pusat seni pertunjukan nasional Esplanade – Theatres on the Bay pernah menerbitkan majalah dwi bulanan yang berjudul The Arts Magazine dari 1997 hingga 2003 – yang mana formatnya mirip dengan Performing Arts Review dari Taiwan, dengan fitur, wawancara dan bagian ulasan. Publikasi ini banyak dirindukan oleh artis dan pencinta seni di Singapura sewaktu dihentikan, pasar yang kecil dari kota – negara mebuatnya sulit bahkan pada masa itu bagi majalah ceruk untuk bertahan secara finansial. Kembali ke 2013, sesaat setelah Esplanade menandai 10 tahun perayaan sebagai penyampai, produser dan tempat seni, saya adalah penulis senior di The Straits Times dan menulis di op-ed tentang subyek tersebut, tanpa banyak pemikiran akan kemana itu membawa saya secara pribadi

Pusat seni dapat juga berbuat banyak untuk melibatkan audiens abad 21.. Di zaman informasi yang berlebihan, audiens menginginkan pengetahuan yang lebih mendalam tentang artis sebelum menyaksikan pertunjukannya. Mereka menginginkan informasi ini di ujung jarinya, di handphone, dan menonton video yang berkaitan serta membeli tiket sebagai satu pengalaman tersambung tanpa putus. Satu dekade sebelumnya, Esplanade memiliki publikasi cetak dwi bulanan, The Arts Magazine. Majalah itu memuat artikel yang memprovokasi pikiran tapi tanpa penjualan dan jumlah pelanggan yang mencukupi untuk kelangsungan hidupnya. Bentuk dengan isi yang serius seperti itu masih diperlukan sekarang untuk menimbulkan minat dalam hal seni, tapi dibungkus secara menarik untuk audiens zaman sekarang.

Saya menulis ini enam tahun yang lalu sebagai veteran media cetak yang belum tertancap ke dalam pergolakan digital dan kecepatan warp dimana kanal dan format isi berkembang untuk berpacu kecepatan dengan teknologi, tren gaya hidup dan audiens. Secara singkat, kalimat tersebut menerangkan apa yang sekarang saya kerjakan mengepalai konten digital di Esplanade. Perbedaan dengan yang dulu ialah pusat seni tidak lagi mencetak majalah, tapi melanjutkan pengalaman dari pusat seni pertunjukan melalui media digital, dengan memanfaatkan media yang kaya informasi dan pengetahuan tentang seni pertunjukan Asia yang tradisional dan kontemporer yang tersimpan dalam setelah 16 tahun menyampaikan dan menghasilkan karya. Untuk tujuan pengembangan dan pendidikan audiens, kami menghasilkan konten digital secara rutin tentang seni dalam berbagai format mulai dari video ke kuis hingga koleksi fitur format-panjang, untuk situs web dan kanal sosial kami. Kami saat ini sedang memulai situs mikro dan merek media yang baru yang menampilkan wawasan, pengetahuan dan isi arsip untuk membantu audiens lebih menikmati seni pertunjukan. Audiens utamanya ada di Singapura, tapi audiens lainnya berada di regional/ internasional yang tertarik untuk mengenal lebih jauh seni pertunjukan di Asia. 

Baik Esplanade maupun Taiwan National Theater and Concert Hall adalah perusahaan yang didanai publik. Cukup dikatakan dengan munculnya gangguan digital, peliputan seni lebih condong ke model pendanaan publik yang spesial ataupun model urun dana dan menjauh dari media berita tradisional yang mengutamakan keuntungan, yang karena berkurangnya pemasukan iklan harus mengurangi peliputan tentang seni – yang pada dasarnya merupakan aktivitas tanpa untung dan bukan merupakan sumber iklan yang stabil. 

Pada akhirnya, penting untuk dicatat bahwa media di Asia beroperasi dalam konteks politik sosial, ekonomi dan budaya yang sangat beragam. Ambil contohnya antara Singapura dan Malaysia, dua negara bertetangga dengan sejarah bersama tapi berpisah setelah 1965. Malaysia memiliki kondisi dan pasar yang kuat untuk pelanggan media independen tapi ini telah menguntungkan kebanyakan media politik sosial/ berita hangat seperti Malaysiakini, situs media berita independen terkemuka yang diluncurkan di 1999, yang telah berkembang melalui kombinasi pelanggan, sumbangan dan iklan. Walaupun ada pentas seni energik yang terkonsentrasi di ibukota Kuala Lumpur, seni secara umum kurang didanai dan kurangnya pendidikan seni di kurikulum sekolah juga membatasi dukungan terhadap seni. Sebagai hasilnya, situs independen yang didekasikan untuk berita dan ulasan seni seperti Kakiseni dan Arteri telah memindahkan fokusnya dari kritik dan laporan ke acara, jaringan dan pengembangan kemampuan untuk profesional yang kreatif, sementara media tradisional seperti New Straits Times dan The Star kadang kala memberitakan tapi tidak lagi mengulas tentang seni. Biarpun begitu penulis dan kritikus seni di Malaysia tetap aktif dan bebas – produser dansa dan kritikus Bilqis Hijjas mendirikan situs ulasan, Critics Republic, untuk ulasan komisi ad-hoc dan ulasan dari penulis muda, sementara tim pendiri di balik Kakiseni, Kathy Rowland dan Jenny Daneels, telah memulai ArtsEquator di Singapura, sebuah situs independen yang menyediakan ulasan, komentar dan gabungan berita tentang seni pertunjukan di Asia Tenggara.

Sebagai perbandingan, Singapura memiliki pasar yang lebih kecil tapi dengan pendanaan dan infrastruktur yang lebih kuat untuk seni, termasuk pendidikan seni yang dirajut ke dalam kurikulum dan kehidupan sekolah mulai dari sekolah dasar, dengan institusi level sekunder dan tersier yang didekasikan untuk seni kreatif. Tidak seperti Malaysia, Singapura masih memiliki kehadiran media seni, walaupun dalam bentuk yang berbeda dibanding katakanlah lima tahun yang lalu. Tidak seperti katakanlah, Eropa Barat dimana kemakmuran, pasar bersama, sejarah perlindungan yang kuat akan seni dan budaya, kebebasan berekspresi dan pengakuan kepada praktisi dan perantara budaya lainnya telah membawa media seni yang cukup cemerlang melintasi negara yang berbeda, terdapat banyak ketidak simetrisan di Asia. Apa yang harus dipertimbangkan saat berbicara tentang media seni Asia, ialah tidak terdapat satu Asia melainkan banyak Asia.

Masa jaya media cetak – penemuan melalui format-panjang dan kritik

Tahun 1990 an dan 2000 an adalah masa jaya dari kritikus koran/ majalah yang berpengaruh, yang memiliki kekuatan untuk membentuk atau menghancurkan produksi atau artis dan merubah lintasan dari perkembangan dunia budaya.

Pengaruh ini dibangun di atas faktor ayam dan telur: i) pengetahuan dan paparan dari reporter/ pengulas khusus yang telah menonton setiap karya/konser/pameran di kota dan sangat mengerti cara kerja industri, dan ii) yang tak dapat disangkal pemasukan iklan dan sirkulasi media cetak utama, yang memberi penulis khusus pembaca dan juga keamanan kerja untuk melanjutkan pekerjaan beberapa tahun berikutnya. Bahkan jika hanya segelintir pembaca yang tertarik akan seni, di mana seni seperti memberi dimensi intelek ke koran yang merupakan bagian dari fungsi sosialnya. Untuk kerugiannya, tentu saja, adalah aura elit yang meliputi media cetak yang berpengaruh dan penulis tetapnya – walaupun respon alami terhadap itu adalah munculnya media dan suara alternatif, yang terjadi dimana saja, termasuk Singapura, bahkan sebelum zaman internet.

Sisi baiknya dari keadaan ini dimana media cetak memegang peranan adalah peliputan aliran utama yang luas dan kadang mendalam yang diberikan kepada seni atas nama kepentingan umum, dan kata kuncinya ialah “aliran utama” Sebagai wartawan seni dan pengulas teater di Singapura tahun 2000 an, saya berada di festival big bang dan studio teater kotak hitam kecil, di latihan dan di malam pembukaan, berbicara ke semua orang dari artis ke pembuat kebijakan hingga produser, memukul sesuai irama – seperti dinamai dalam bahasa jurnalistik – dan membawa pembaca ke naik turunnya perkembangan seni. Saya masih ingat mengulas rata rata 2-3 produksi teater per minggu di setengah bagian dari tahun 2000 an dan kembali ke kantor larut malam setelah pertunjukan untuk mengetik ulasan saya di komputer IBM lama – ini zaman sebelum laptop dan koneksi internet nirkabel.

Di bagian Life dari The Straits Times, di mana saya menghabiskan sebagian besar karir saya dan sebagai editor seni di pertengahan dari dekade ini, ada komitmen untuk menampilkan penulisan fitur format-panjang. Sebagai editor, saya menentukan fitur untuk  pengembangan teater forum di Asia dan sejumlah artikel 1,500 kata model tanya jawab antara sepasang artis berbeda genre atau generasi yang disatukan eksplorasi mereka akan ide ide besar tertentu – bahan yang tidak keluar jalur untuk jurnal atau majalah seni yang serius.

Harus dikatakan bahwa di Singapura, di mana satu partai politik mendominasi, dan di mana halaman dari The Straits Times diteliti dengan cermat sebagai barometer untuk sudut pandang pemerintah dan perubahan norma, seseorang memiliki lebih banyak cara untuk menantang pandangan pemerintah sebagai penulis seni dari pada sebagai wartawan politik atau berita umum, dengan anggapan bahwa artis sendiri kritis dan provokatif dalam pekerjaan mereka. Sebagai penulis seni untuk koran kolom atau ulasan saya tidak pernah ditarik dari publikasi dikarenakan sensitivitas pada saat itu, dan kadang kadang, bukan hal yang tidak biasa untuk melihat kolom dari saya atau kolega saya yang kritis terhadap kebijakan budaya atau keputusan sensor di seni. Ini memberikan penulisan seni suatu kedinamisan, sensasi berada di denyut nadi masyarakat dan diberdayakan untuk mengucapkan yang tidak terucapkan.

Di Singapura, selain The Straits Times yang dimiliki Singapore Press Holdings (SPH), media berita utama lainnya yang menempatkan atau pernah menempatkan sumber daya yang signifikan untuk peliputan seni adalah The Business Times dan Lianhe Zaobao, koran berbahasa Tionghoa, yang keduanya juga dimiliki oleh SPH, dan Today, yang dimiliki konglomerat media Singapura yang lain, MediaCorp. Akan tetapi, beberapa tahun terakhir, kehadiran seni telah berkurang di media tradisional Singapura, yang terpaksa memberi ruang peliputan lebih kepada sektor yang ramah-iklan dikarenakan berkurang pemasukan iklan media cetak.

Pada masa itu sebelum media sosial dan sebelum telepon pintar, saat media cetak memegang peranan, apa yang aliran utama dengan basis luas peliputan seni, dengan isi yang mendalam, artinya bagi artis dan pembaca? Untuk artis, anda akan memiliki hubungan cinta-benci terhadap sekelompok orang – penulis seni, wartawan dan kritikus – yang merupakan audiens utama pekerjan anda, dengan wawasan yang mereka miliki tentang pembuatan seni dan berbagai lintasan karir artis yang mana audiens yang lebih kasual, jenis yang gampang masuk dan keluar tidak akan mengetahui rahasianya.

Untuk audiens, sambil membalik lembaran koran, anda akan mendapatkan akses ke perkembangan seni dan budaya. Jika judul berita atau gambar berkesan, anda dapat ditarik membaca sesuatu di luar kesadaran anda, dan dalam prosesnya, dikenalkan ke tren atau perkembangan yang mungkin tidak akan anda pikirkan lebih jauh. Dengan berjalannya waktu, ini akan membentuk pembaca atau audiens yang lebih pengertian dan lebih cerdas.

Dalam wawancara 2017 yang tidak dipublikasi dengan penulis Lim Cheng Tju tentang dampak dari kritikus musik indie dan DJ Singapura yang inovatif X’Ho (Chris Ho), editor musik Hidzir Junaini berbicara soal kolom Chris Ho di The Straits Times dan pada khususnya di majalah musik alternatif BigO, yang pertama dipublikasi versi cetak dan kemudian daring dari 1985 hingga 2000 an. Hidzir, yang sebelumnya editor situs berita dan ulasan musik Asia Tenggara Bandwagon, menerangkan bahwa dia sendiri merupakan “penggemar musik kasual sampai saya mengenal karya Chris Ho. Dia membuat saya berpikir lebih dalam tentang musik tidak hanya soal bentuk dan teknis, tapi juga soal nilainya dalam konteks politik sosial”. Hidzir lanjut mengomentari kondisi jurnalisme musik:

Saya berpikir itu adalah fantastis bahwa seseorang dapat membuat situs sendiri dan mengajukan pendapat, ulasan dan kritik mereka sendiri. Sebenarnya sikap membuat sendiri ini sering membawa ke arah penulisan yang lebih jujur dan beragam dibanding dengan yang diijinkan di publikasi yang “sah”. Selain itu, ini seperti malam mik bebas – kontrol kualitas tidak dijamin. Dan dengan berlimpahnya saluran informasi, artikel, daftar putar dan posting blog menuju anda setiap detik, setiap hari – hanyalah alami bila anda ingin menyaring untuk menerima hal hal yang sesuai dengan minat anda. Itu adalah menyenangkan karena anda dapat terhubung dan berdiskusi dengan komunitas dan orang yang sepaham, tetapi terdapat juga bahaya bahwa anda membentuk ruangan gema propaganda untuk anda sendiri. Chris Ho menulis secara meyakinkan dan fasih tentang hal hal di luar ruang kemudi saya sebagai anak, dan saya senang karena dia membantu saya menemukan.

Hal penting untuk dicatat ialah untuk semua demokratisasi pendapat dan komentar yang banyak dibanggakan yang diantarkan lewat internet dan media sosial, banyak yang didukung dan dipengaruhi oleh iklan, kelompok minat dan algoritma dari platform sosial media. Jika anda menggunakan dan “menyukai” sesuatu, anda akan diumpan lebih banyak hal yang sama. Dan jika semua berita dan komentar datang dari platform sosial – seperti untuk jumlah yang bertambah dari penduduk asli digital – anda tidak akan diberikan sesuatu yang lain di luar isi spektrum tersebut.

Masuklah yang baru – model pendanaan, format media

Sebelumnya saya berbicara tentang model media seni yang didanai publik. Di Singapura, National Arts Council (NAC) sudah menjadi penggerak utama di bidang ini. Pada akhir 1990 an dan awal 2000 an, mereka mendanai stasiun radio seni, Passion 99.5. Sekarang ini, dewan seni berada di belakang dua inisiatif digital: The A List Singapore, portal seni dan budaya Singapura dimana pengguna dapat mencari daftar acara dan rekomendasi, dan Hear65, situs mikro yang promosi musik Singapura.

NAC juga mendanai ArtsEquator yang telah berumur tiga tahun. Ini adalah situs spesial dengan target khusus orang dalam seni Asia Tenggara dan audiens yang lebih mengerti dan lapar akan ulasan dan kritik mendalam. Pendanaan dari NAC tidak menghentikan ArtsEquator untuk memberikan pendapat yang bebas akan produksi kontroversial atau isu panas industri seperti regulasi dan sensor. Akan tetapi, dapat terjadi tegangan di tempat seperti Singapura jika media seni yang didanai publik mengadopsi pendekatan untuk mengaburkan batas antara seni dan berita hangat dengan mengurangi fokus akan ulasan dan fitur artis dan lebih pada op-ed untuk budaya secara umum dan bahkan politik. Pendekatan seperti itu akan membawa lebih banyak pembaca dan memberikan efek berkurangnya ceruk seninya, tapi juga melarutkan fokus dari “seni untuk seni semata” dan yang seharusnya media seni netral secara politik, menempatkan pendanaan publik dalam ancaman. 

Alternatif selain pendanaan publik ialah urun dana, terutama untuk lintas negara, outlet media dengan fokus regional yang tidak ingin terikat ke pemerintah atau perusahaan. Satu contoh ialah Asymptote, situs web berumur lima tahun untuk literatur dunia terjemahan yang menerbitkan edisi triwulan; diresmikan di Singapura dimana editor pendiri berasal, tapi memiliki editor yang berkontribusi dari seluruh dunia, termasuk Asia. Donor menyumbang antara $10 hingga $5,000 dan lebih, dan daftar lengkap donor diakui di situs webnya. Satu contoh lainnya ialah Mekong Review, jurnal literatur cetak berbahasa Inggris triwulanan tentang Asia Tenggara, diluncurkan di Kamboja tahun 2015. Dijual melalui berlangganan dan juga di rak kios di delapan negara dan teritorial termasuk Thailand, Singapura Hongkong dan Australia, barusan mereka memulai kampanye urun dana. Ketidakpastian finansial sangat besar dengan urun dana, tapi dapat diargumentasi, sebab konten muncul karena adanya pembaca dan audiens yang dilayani, mereka harus ditantang untuk membayar untuk memastikan keberlanjutannya.

Dalam hal kanal dan format media, booming saat ini ialah siniar (podcast), terutama untuk milenial, telah menguntungkan radio, dan ini juga membawa program seni dan budaya masuk di kanal radio seperti BFM Radio di Malaysia, yang target audiensnya pebisnis profesional. Teman milenial memberitahu saya bahwa mereka lebih suka mendengar wawancara mendalam atau ulasan mendalam dari pada membacanya, dikarenakan mereka dapat melakukan kerjaan lainnya sambil mendengar melalui handphone dan sekarang yang ada di mana mana layanan musik daring. Dari Instagram untuk seni visual, ke video dan daftar main untuk seni pertunjukan, terdapat banyak format digital untuk melibatkan audiens seni kasual dan milenial atau Gen-Z (generasi sesudah milenial, lahir di pertengahan 1990 an atau sesudahya) dan dalam proses dengan harapan untuk menuntun mereka ke konten seni yang lebih serius. Pada saat yang sama ada juga nostalgia untuk media cetak yang dicoba diuangkan oleh beberapa penerbit. Seperti yang dikatakan editor Mekong Review Minh Bui Jones :

Beberapa orang lebih menyukai membaca media cetak dan bersedia untuk membayarnya. Dan membayar untuk isi media cetak merupakan kebiasaan lintas generasi… Saat anda membayar koran, anda tahu seseorang telah bersusah payah untuk mengatur tata letaknya – halaman demi halaman, artikel demi artikel, mencetaknya, yang membutuhkan uang; kemudian memboyongnya dari percetakan ke toko. Jadi yang anda bayar bukan hanya isi tapi juga usaha fisik untuk mengantar isinya ke toko sudut anda.

Pembangunan komunitas : dari “alun alun kota” ke “omakase”

Jadi sebagai penerbit atau pemilik media seni saat ini, anda mulai dengan menentukan bisnis atau model kelangsungan hidup dan format isi yang sesuai, dan anda membuat produknya. Langkah berikutnya ialah pengembangan audiens – bagaimana cara berbicara ke audiens kita dan tetap memperluas basis melampaui silo sempit dan kelompok peminat.

Untuk satu hal, bagaimana kita membangun komunitas pembaca atau audiens pada saat di kanal sosial orang orang lebih rajin mengikuti influencer individu daripada merek dan merasa lebih terhubung ke mereka? Hubungan ini diperkuat oleh algoritma Facebook yang menitik beratkan postingan pribadi sehingga merek dan organisasi yang menginginkan lebih banyak tarikan dipaksa untuk beriklan. Sementara “influencer” cenderung merupakan istilah yang merendahkan untuk menunjukkan influencer gaya hidup yang menawarkan restoran dan produk kecantikan. Saya mengunakannya dalam konotasi netral sebagai referensi untuk individu yang menonjol dengan jumlah pengikut sosial yang banyak yang menggunakan pengaruhnya untuk advokasi, dan dalam konteks ini terdapat influencer seni dan budaya di setiap negara di Asia. Di Singapura, seorang influencer yang megurusi baik seni dan aktivitas poltik sosial adalah seseorang seperti penulis naskah Singapura Alfian Sa’at yang dihormati – yang memiliki lebih dari 20,000 pengikut Facebook, posting setiap dua hari dan berbagi pemikiran menarik akan segala sesuatu dari kebijakan pemerintah hingga produksi yang pernah dia tonton atau yang dia terlibat di dalamnya. Saya membayangkan dalam hitungan minggu atau hari, akan lebih banyak liberal yang membaca postingan Facebook Alfian dari pada membaca ulasan atau op-ed dari outlet media tradisional ataupun baru, dan memang postingan dia diambil dan disiarkan secara rutin oleh situs berita alternatif di Singapura.

Media seni Asia ada juga meminta penulis berpengaruh untuk menulis bagi mereka – Alfian menulis sesekali untuk kolom di ArtsEquator dan di Esplanade, kita telah berkolaborasi dengan pengarang India terkenal Devdutt Pattanaik, yang telah kita presentasi sebelumnya di Kalaa Utsavam – festival seni India kami – yang bukunya tentang Hindu dan perbandingan mitologi merupakan yang terlaris. Dia memiliki lebih dari 170,000 pengikut di Facebook, lebih dari katakanlah Salman Rushdie, dan kami komisikan dia untuk menulis esai tentang gender di mitologi Hindu untuk bagian Learn dari situs web Esplanade, karena mitos dan relevansi kontemporer memberi lebih banyak informasi tentang pelajaran dan kosa kata pertunjukan dalam seni India.

Selain memperluas jangkauan dan resonansi dari isi media seni dengan menarik pengikut tokoh berpengaruh, ada pertanyaan bagaimana kita sebagai editor dan penerbit melibatkan audiens kita lebih dalam dan konstruktif, termasuk perdebatan, karena faktanya waktu dan cara kita menerima berita dan pandangan telah berubah. Sebagaimana teknopreneur Amerika Chikai Ohazama menulis dalam kolom di situs teknologi TechCrunch: ”Bahkan jika anda sendiri tidak menulis komentar, berita ada di percakapan umum dan reaksi orang, apakah dari teman anda atau selebritas, sering merupakan bagian dari berita itu sendiri. Percakapan umum ini bisa sangat beracun dan menjadi alasan mengapa orang meninggalkan dan mencari alternatifnya, tapi saya rasa orang tidak akan kembali ke nol dan balik ke masa membaca koran sambil sarapan.”

Menggunakan analogi omakase – tradisi makan baik Jepang di mana makanan telah diseleksi terlebih dahulu oleh koki, biasanya di sebuah restoran kecil dimana anda duduk di konter depan koki dan berbicara kepadanya sambil memperhatikan dia menyiapkan makanan – Ohamaza berpendapat ini menjadi tujuan konsumsi berita harian kita: menjauh dari “alun alun kota” jaringan sosial dimana algoritma cenderung memuaskan “denominator umum terendah” dan menuju ke umpan berita pribadi pilihan, melalui e-mail, buletin dan layanan pesan dimana anda dapat bertukar pandangan dengan sekelompok orang orang yang sepaham secara tertutup. Oleh karenanya judul kolom dia, “Masa depan berita ialah percakapan dalam kelompok kecil dengan suara yang dipercaya”, sebagian sebagai respons dari pengumuman CEO Facebook Mark Zuckerberg tentang visi jaringan sosial untuk membangun platform jaringan sosial dan pesan dengan fokus privasi, setelah terjadinya kritik ke Facebook atas kesalahan penanganan informasi pribadi pengguna.

Bila saya memperkirakan ini ke apa yang sedang saya kerjakan di Esplanade, bagaimana saya mengambil kehidupan nyata komunitas yang kita miliki – program keanggotaan untuk segmen audiens yang berbeda, skema mentor untuk artis muda, artis yang terkenal dan baru muncul kita akan bekerja dengan erat – dan menerjemahkan ini ke ruang daring? Memperkuat komunitas ini baik daring maupun luring adalah hal yang media seni dapat mulai pikirkan, karena kita ingin membangun audiens yang terlibat, dan kita ingin menciptakan mekanisme untuk dialog konstruktif dimana audiens merasa kepemilikan dan keterlibatan dalam seni dan juga produk media. Ini semua masih daerah yang belum terjamah, tapi ada kesempatan untuk maju ke arah ini selagi teknologi mulai mendorong batasan dari layanan pesan pribadi dan membawa penyatuan dengan umpan berita. 

Menyelam dalam dan generasi berikutnya

Selain produk dan pengembangan audiens, untuk media seni fundamentalnya tetap berada di seni bercerita dan kedalaman wawasan, karena ini yang membantu mengurangi kemistikan seni bagi pendatang baru dan memperdalam pengertian dari pengunjung seni rutin, memberikan mereka konteks baru dari yang mereka saksikan. Saat saya berpikir tentang fitur digital yang telah kami lakukan di Esplanade yang saya banggakan hingga saat ini, yaitu baik seni bercerita maupun wawasannya menyatu dengan cara yang kreatif dan mengejutkan pembaca atau penonton.

Satu contoh ialah karya perkenalan yang kita lakukan tentang bharatanatyam, bentuk dansa klasik India yang paling tua dan paling sering dimainkan. Selain gerakan kaki dan ekspresi wajah, satu bagian krusial dari seni berceritanya ialah sistem gerakan tangan yang dinamakan mudras. Tim editoral kami bekerja dengan videografer dan desainer grafik luar untuk menghasilkan video perkenalan singkat, dengan target siswa dan audiens umum, berjudul “Bahasa Rahasia Dari Tangan”, yang memperkenalkan mudras melalui kombinasi animasi dan video jarak dekat dari seorang pemain bharatanatyam – idenya bahwa di bharatanatyam, pedansa menggunakan matanya, tubuh dan gerakan untuk narasi cerita, dan dengan tangannya dia dapat meniru segalanya: singa, tikus, perasaan berkuasa, jaring, melepaskan diri dari pengekangan. Video ini dimasukkan dalam fitur interaktif yang juga berisi permainan hitung kartu: tebak apa yang dilambangkan mudras atau gerakan tangan, kemudian balik gambarnya untuk melihat berapa yang benar. Video ini dan fitur interakifnya merupakan bagian yang paling sering dilihat hingga kini. Satu hal yang perlu dicatat ialah di luar kreativitas editor, tim konten kami mendapat manfaat besar dari diskusi dan hubungan kerja yang erat degan produser berpengalaman di Esplanade Kalaa Utsavam, yang berpengetahuan banyak tentang seni India dan yang bisa menghubungkan kami dengan pemain yang muncul di video tersebut.

Contoh lainnya, saat ini di bidang penulisan fitur format-panjang, adalah serial yang telah kita buat berjudul ”Asian Theatremakers” tentang praktisi di Singapura dan Asia yang telah membuat perubahan, masuk ke dalam filsafat, kebiasaan dan karya penting mereka. Pada khususnya, terdapat dua fitur dalam serial ini, keduanya ditulis oleh kritikus-penulis seni yang berpengalaman, yang membuat profil pembuat teater Singapura mulai dikenali dari karyanya yang berbeda dan menembus batas, dan karya ini merupakan analisa mendalam yang pertama tentang karir mereka. Satunya yaitu penulis naskah dan sandiwara Zulfadli Rashid, banyak karya tapi hingga sekarang kurang dikenal dan kekuatan puisi yang berkembang di teater berbahasa Melayu. Karyanya, ditulis oleh penulis naskah dan kritikus Nabilah Said, diterbitkan sesaat sebelum kemunculan perdana dari karya Zulfadli Alkesah, yang dikomisi oleh Esplanade di Juli 2018. Sejak saat itu Alkesah telah dinominasi untuk gelar Produksi Terbaik di penghargaan The Straits Times Life Theatre Awards, dan tulisan Zulfadli sebagai Naskah Terbaik. Karya menonjol lainnya ialah tentang penulis naskah dan direktur Liu Xiaoyi, yang dikenal dengan karya yang intens dan situs-spesifik yang menantang audiens dan juga batasan ruang dan waktu. Kritikus teater Corrie Tan, yang menulis karya itu, telah mengikuti kerja Xiaoyi secara dekat selama beberapa tahun, dan hasilnya ialah kombinasi kritik dan jurnalisme fly-on-the-wall (lekat tanpa diketahui) yang benar benar membantu untuk membuka pendekatan praktisi ini yang karyanya mengherankan tapi juga dapat perhatian.

Kebanyakan pengetahuan mendalam dan mendasar tentang seni di Singapura masuk ke karya tersebut.Sebelum membuatnya, saya berbicara dengan produser Esplanade yang telah lama mengikuti karya Zulfadli dan Ziaoyi, dan selanjutnya Nabilah dan Corrie membawa perspektif masing masing dan karyanya untuk dimasukkan ke bagian ini, sebagai penulis dengan latar belakang melintasi jurnalisme seni, praktek teater dan akademik, dalam hal Corrie.

Tapi pertanyaan saya untuk semua yang hadir hari ini, bagaimana kita menemukan dan membimbing Corrie Tan dan Nabilah Said berikutnya? Terdapat lebih sedikit waktu dan sumber daya tersedia hari ini di ruangan berita yang panik dan terbatas waktunya dan tim produksi konten untuk ‘melatih’ penulis dan spesialis media seni. Dan selama platform media seni mengkwatirkan keberlanjutan finansialnya, mereka tidak akan memiliki energi untuk memikirkan generasi berikutnya, dan seperti juga peminat seni yang muda tidak memiliki jalur untuk berkembang menjadi penulis dan kritikus.

Inilah mengapa saya menghargai usaha ArtsEquator, yang didukung oleh National Arts Council, untuk mengatur seminar dan program mentor bagi pengulas dansa dan teater yang muda. Di Esplanade, kami juga telah menjalankan program mentor untuk penulis musik sebagai bagian dari festival musik indie kami Baybeats. Tapi pembicaraan ini tidak hanya tentang penulis muda, tapi juga kolaborasi dengan penulis lainnya juga dengan artis, orang orang kreatif dan produser, dari bidang seperti akademik atau praktek artistik. Kami ingin berdialog dengan mereka dan menyesuaikan karya dan pengetahuan mereka untuk media digital dan audiens yang lebih umum, sehingga sekumpulan penulis yang baik dan konten yang baik untuk media seni dapat bertumbuh.

Dan pada akhirnya, dalam dunia global di mana terdapat sedikit penghalang untuk mendapatkan pendanaan dan konten digital melintasi batas negara, kita hanya dapat berkembang dari jaringan dan pertukaran pengetahuan di antara penerbit dan penulis media seni di seluruh Asia. Walaupun konteks budaya ataupun politik sosial kita sangat berbeda, kita disatukan oleh materi subyek kita – kesenian – sifat campuran dari akarnya, dan bertambahnya lalu lintas antar budaya dalam produksi dan kolaborasi seni. Terdapat banyak pengalaman dan kebijaksanaan yang dapat diperoleh dari pertemuan hari ini – saya merasa beruntung menjadi bagian darinya, dan menantikan hasil dari pertukaran wawasan itu.